Pendahuluan
Penyakit Graves
merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah
adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi
kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta
-meskipun jarang- disertai dermopati. Selain penyakit Graves, yang merupakan
penyebab paling sering, penyebab lain tirotoksikosis ialah struma multinodosa
toksik, adenoma toksik, tiroiditis, dan pemberian obat-obatan.
Patogenesis penyakit
Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga
faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum
diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita penyakit Graves.
Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam
penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor
TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone – Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar
bervariasi.
Pengobatan penyakit
Graves idealnya ditujukan langsung pada penyebabnya. Tetapi, mengingat dasar
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang belum diketahui pasti
penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves dilakukan melalui berbagai
pendekatan, yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar tiroid, menghambat produksi
dan pengeluaran hormon tiroid serta mengeliminasi efek hormon tiroid di
perifer, sekaligus menekan proses autoimun.
Diagnosis
Penyakit Graves mulai
dipikirkan apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus disertai tanda dan
gejala ke arah tirotoksikosis. Untuk memastikan diagnosis, diperlukan
pemeriksaan TSH dan T4-bebas dalam darah. Pemeriksaan TSH sangat berguna untuk
skrining hipertiroidisme, karena dengan peningkatan sekresi hormon tiroid yang
sedikit saja, sudah akan menekan sekresi TSH. Pada stadium awal penyakit
Graves, kadang-kadang TSH sudah tertekan tetapi kadar T-4 bebas masih normal.
Pada keadaan demikian, pemeriksaan T-3bebas diperlukan untuk memastikan
diagnosis T-3 toksikosis. Apabila dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium
belum juga dapat menegakkan diagnosis penyakit Graves, dapat dilakukan
pemeriksaan lanjutan dengan tes supresi tiroksin.
Manifestasi
Klinis
Penyakit Graves umumnya
ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid/ struma difus, disertai tanda dan
gejala tirotoksikosis dan seringkali juga disertai oftalmopati (terutama
eksoftalmus) dan kadang-kadang dengan dermopati. Manifestasi kardiovaskular
pada tirotoksikosis merupakan gejala paling menonjol dan merupakan karakteristik
gejala dan tanda tirotoksikosis.
Gejala
tirotoksikosis yang sering ditemukan:
- Hiperaktivitas, iritabilitas
- Palpitasi
- Tidak tahan panas dan keringat berlebih
- Mudah lelah
- Berat badan turun meskipun makan banyak
- Buang air besar lebih sering
- Oligomenore atau amenore dengan libido berkurang
Tanda
tirotoksikosis yang sering ditemukan:
- Takikardi, fibrilasi atrial
- Tremor halus, refleks meningkat
- Kulit hangat dan basah
- Rambut rontok
Pada pasien dengan usia
yang lebih tua, sering tanda dan gejala khas tersebut tidak muncul akibat
respons tubuh terhadap peningkatan hormon tiroid menurun. Gejala yang dominan
pada usia tua adalah penurunan berat badan, fibrilasi atrial, dan gagal jantung
kongestif.
Oftalmopati pada
penyakit Graves ditandai dengan adanya edema dan inflamasi otot-otot
ekstraokular dan meningkatnya jaringan ikat dan lemak orbita. Peningkatan
volume jaringan retrobulber memberikan kontribusi besar terhadap manifestasi
klinis oftalmopati Graves.
Mekanisme kelainan mata
pada penyakit Graves sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi
mengingat hubungan yang erat antara penyakit Graves dengan oftalmopati, diduga
keduanya berasal dari respons autoimun terhadap satu atau lebih antigen di
kelenjar tiroid atau orbita. Sebagian peneliti melaporkan bahwa reseptor
TSH-lah yang menjadi antigen dari respons autoimun keduanya. Tetapi sebagian
yang lain melaporkan adanya antigen lain di orbita yang berperan dalam
mekanisme terjadinya oftalmopati, sehingga dikatakan bahwa penyakit Graves dan
oftalmopati Graves merupakan penyakit autoimun yang masing-masing berdiri
sendiri. Oleh karena itu kelainan mata pada penyakit Graves dapat timbul
mendahului, atau bersamaan, atau bahkan kemudian setelah penyakit Graves-nya
membaik.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk dapat memahami
hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya,
perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar
hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid
perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3
dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves,
adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga
kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan
produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu
disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka
mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4
bebas (free T-4/FT-4).
Pemeriksaan
Penunjang Lain
Pemeriksaan penunjang
lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis
penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi
tiroksin.
Pengelolaan
Penyakit Graves
Terdapat 3 modalitas
pengobatan pada penyakit Graves, yaitu obat antitiroid, operasi dan Iodium-131
(131I). Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal, antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang
menyertainya.
I. Obat-obatan
1.
Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat
golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan
nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan
karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang
isinya sama dengan metimazol..
Mekanisme
Kerja
Obat golongan tionamid
mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang utama
ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara
menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4
menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di
perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis
hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Dosis
Besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3×100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari
dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini, dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis
eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal.4 Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat dinaikkan bertahap
sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
Efek
Samping
Meskipun jarang
terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek samping, yaitu
agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis yang lebih
kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam
beberapa bulan pertama pengobatan.3 Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping
tersebut, sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk
leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan
pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya
dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi. Bila timbul
efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat
jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi
Evaluasi pengobatan
perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit
autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi. Evaluasi
pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan
klinis dan bikokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan
dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3
bulan hingga tercapai remisi. Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4
(atau FT-3 bila terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang
memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak
terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan
parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah,
kelenjar tiroid, dan mata.
2.
Obat Golongan Penyekat Beta
Obat
golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat
untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state)
seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada
reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini
juga dapat -meskipun sedikit- menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80
mg/hari.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol.
Pada umumnya obat
penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi
antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang
lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin
oksidase.
3.
Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti
iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast, potassium perklorat
dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid,
tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves.
Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk
persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
II.
Operasi
Pilihan
operasi jenis tiroidektomi subtotal pada penyakit Graves diindikasikan bila
struma besar atau dengan struma retrosternal hingga menyebabkan pendesakan,
respons terhadap obat antitiroid kurang memadai, atau terdapat efek samping
obat.
Sebelum tindakan operasi dilaksanakan, keadaan hipertiroidismenya harus diobati terlebih dulu hingga tercapai eutiroidisme baik klinis maupun biokimia. Iodida inorganik biasanya diberikan selama 7-10 hari sebelum operasi dengan tujuan mengurangi vaskularisasi kelenjar tiroid dan mempermudah prosedur operasi. Di senter yang berpengalaman, angka hipertiroidisme yang teratasi mencapai 98% dengan sedikit komplikasi operasi. Komplikasi hipotiroidisme yang terjadi, terutama disebabkan sedikitnya sisa tiroid yang tertinggal dan adanya antibodi antitiroid.
Angka kekambuhan hipertiroidisme dilaporkan sebanyak 5-15%, sebagian besar dialami kelompok pasien dengan kadar TR-Ab tinggi sebelum operasi dan dengan keterlibatan mata yang serius. Pada kelompok seperti ini sebaiknya dilakukan tiroidektomi total, bukan tiroidektomi subtotal. Pada kelompok yang mengalami kekambuhan pasca tiroidektomi subtotal, pilihan selanjutnya ialah terapi Iodium radioaktif.
III. Iodium Radioaktif
Terapi iodium
radioaktif merupakan terapi pilihan pada pasien yang mengalami kekambuhan
setelah terapi obat antitiroid jangka panjang dengan problem kardiak, atau
pasien Graves yang berat karena kelompok tersebut diperkirakan akan sulit
mencapai remisi dengan obat antitiroid. Indikasi lain terapi ini ialah bila
terdapat efek samping serius terhadap obat antitiroid, juga pada sebagian besar
pasien multinodular-uninodular toksik. Terapi iodium radioaktif
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan sedang menyusui.
Evaluasi pasien
dilakukan dengan interval 4-6 minggu selama 3 bulan pertama, dan selanjutnya sesuai
dengan keadaan klinis dan biokimia. Bila ingin hamil, sebaiknya ditunda hingga
4 bulan pascaterapi.2 Hipotiroidisme, yang sering merupakan komplikasi terapi
iodium radioaktiv, dapat muncul pada 6-12 bulan pertama setelah terapi, tetapi
dapat juga muncul setiap saat. Bila hipotiroidisme terjadi, dapat diberikan
L-tiroksin dosis titrasi, dengan target kadar FT-4 dan TSH normal. Bila telah
tercapai eutiroid yang stabil, evaluasi dapat dilakukan setahun sekali.
Oftalmopati
Graves
Meskipun mekanisme
hubungan penyakit Graves dengan oftalmopati Graves belum jelas, pengelolaan
terhadap tirotoksikosis merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Pada
oftalmopati ringan atau sedang, di samping usaha mempertahankan keadaan
eutiroidisme, yang juga perlu dilakukan ialah:
·
Hentikan rokok
·
Hindari cahaya yang sangat terang dan
debu
·
Tidur dengan posisi kepala terangkat
·
Gunakan artificial tears dan salep mata
sederhana pada malam hari
·
Obat diuretik.
Pada oftalmopati
berat, ditandai dengan memberatnya diplopia
dan keratitis ekspose atau neuropati optika, perlu pengobatan tambahan:
- · Glukokortikoid (prednison 40-80 mg/hari, dosis diturunkan bertahap, paling tidak selama 3 bulan)
- · Radioterapi (dosis 20 Gy, diberikan dalam 10 kali dosis 2 Gy)
- · Operasi dekompresi orbita
- · Obat-obatan (eksperimental) imunosupresi seperti azatioprin atau siklosporin
Penyakit
Graves dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit
Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai keadaan hipertiroidisme-nya diobati
dengan adekuat, karena angka kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak
diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum
tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat
mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi.
PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme,
karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek
teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan
memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian
tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan
biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada
periode tersebut, kadang-kadang -dengan mekanisme yang belum diketahui-
terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan peningkatan kadar thyrotropin receptor
antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian
obat antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat
antiroid, tetap dapat menyusui bayinya dengan aman.
Remisi
Angka keberhasilan
remisi dipengaruhi beberapa hal, antara lain lamanya pengobatan, kadar TSH dan
kadar antibodi terhadap reseptor TSH. Dianjurkan lama pengobatan dengan obat
antitiroid berkisar antara 1-2 tahun. Dahulu, usaha untuk meningkatkan angka
remisi dilakukan dengan menambah hormon L-tiroksin. Dasarnya, obat antitiroid
mempunyai efek imunosupresif dan dengan kombinasi L-tiroksin maka dosis obat
antitiroid dapat dimaksimalkan. Tetapi dari beberapa penelitian klinis
berikutnya, seperti dilaporkan Edmonds CJ dan Tellez M, tidak terdapat
perbedaan bermakna antara obat kombinasi dengan obat tunggal.
Bila remisi telah
tercapai, pengobatan dapat dihentikan, tetapi evaluasi tetap harus diteruskan.
Pada tahun pertama, evaluasi dilakukan tiap 3 bulan, karena kekambuhan biasanya
terjadi pada periode tersebut. Kemudian evaluasi dapat dilakukan tiap 1 tahun.
Dalam evaluasi tersebut, parameter yang diperiksa ialah tanda dan gejala klinis
serta pemeriksaan laboratorium TSH dan FT-4 (atau FT-3 bila terdapat T-3
toksikosis).
Bila terjadi
kekambuhan, pilihan pengobatan selanjutnya adalah 131I atau operasi. Obat
antitiroid dapat dicoba lagi bila pasien menolak atau terdapat kontraindikasi
pengobatan iodium radioaktif atau operasi. Angka kekambuhan dipengaruhi oleh
kadar TSH yang selalu rendah atau tak terdeteksi untuk jangka panjang walaupun
keadaan eutiroid telah tercapai, atau adanya kadar antibodi reseptor TSH yang
tinggi.
Penutup
Berbagai faktor perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pengobatan penyakit Graves, antara lain
berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respons/reaksi terhadapnya, serta penyakit lain yang
menyertainya.
Dan, mengingat penyakit
Graves merupakan penyakit autoimun yang tidak dapat diketahui secara pasti
kapan remisi tercapai, dan membutuhkan penekanan proses autoimun secara terus
menerus, maka pengelolaan penyakit ini memerlukan evaluasi teratur dan
kerjasama dokter dengan pasien, -termasuk ketaatan pasien minum obat-, sehingga
tujuan pengobatan dapat dicapai.
Daftar
Pustaka
1. Davies TF. Graves’
disease. In: Lewis E. Braverman dan Robert D. Utiger (editor). Werner &
Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2000.p. 518-55.
2. Weetman AP. Graves’ disease. N Engl J Med 2000;343(17):1236-48.
3. Cooper DS. Treatment of thyrotoxicosis. In: Lewis E. Braverman dan Robert D. Utiger (editor). Werner & Ingbar’s The Thyroid, A Fundamental and Clinical Text. 8th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2000.p. 691-715
.
4. Woeber KA. Update on the management of hyperthyroidism and hypothyroidism. Arch Intern Med. 2000;160:1067-71.
4. Woeber KA. Update on the management of hyperthyroidism and hypothyroidism. Arch Intern Med. 2000;160:1067-71.
5. Singer PA., Cooper DS., Levy EG, et al. Treatment guideline for patients with hyperthyroidism and hypothyroidism. JAMA. 1995;273:808-12.
6. Edmond CJ, Tellez M. Treatment of Graves’ disease by carbimazole: high dose with thyroxine compared to titration dose. Eur J Endocrinology. 1994;131(2):120-4.