ANAMNESA
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas,
intoleransi saat aktivitas, dan lelah.1,5 Keluhan lelah secara
tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan
komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan
kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak
terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat
istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme
yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi
cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut
mengakibatkan teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi
pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada
timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan
nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak
bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan
regurgitasi trikuspid.1
ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi
pada saat tidur mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal
jantung dibandingkan sesak saat aktivitas.1 Gejala ortopnu biasanya
menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu
diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas
bawah kedalam sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan
meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah
satu manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal
jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal
jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas
abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang
memberat pada posisi tidur.1
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang umumnya terjadi
pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1
hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau
mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis
yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada intersitial paru
yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat
berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung,
pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai
seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala PND
relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac
Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan
dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya.5
EDEMA PULMONER
AKUT
Hal ini diakibatkan oleh transudasi
carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat meningkatnya tekanan hidrostatik
kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi jantung atau
meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk
atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat
bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang disertai darah. Jika
tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan.5
RESPIRASI CHEYNE
STOKES
Dikenal pula sebagai respirasi
periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal jantung yang berat, dan
umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi cheyne-stokes
disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap kadar PCO2
arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2
arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas
yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti
kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh
pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas
sesaat.5
GEJALA LAINNYA
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan
gejala gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang
dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah gejala yang sering
ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti
hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri
pada kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi,
gangguan tidur dan emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat,
terutama pada pasien lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan
berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan dapat
memperberat keluhan insomnia.5
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang
diutarakan diatas sangatlah bervariasi. Sedikit yang spesifik untuk gagal
jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin berkurang dengan pengobatan
jantung.1 Pada tabel 1.2. dibawah ini menunjukkan sensitivitas
dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut. Walau orthopnea dan paroxysmal
nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala tersebut
tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung
tidak memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena
jugular yang meningkat sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan
keahlian klinis untuk deteksi tepat.
Tabel 1.2 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala
Gagal Jantung pada pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi
< 40%) pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani
Angiography Koroner.
|
|||
Tanda dan Gejala
Gagal Jantung
|
Sensitivitas (%)
|
Spesifitas (%)
|
(+) Predictive Value (%)
|
Anamnesa
|
|
|
|
· Mudah sesak
|
66
|
52
|
23
|
· Orthopnea
|
21
|
81
|
2
|
· Nocturnal
dyspnea
|
33
|
76
|
26
|
· Riwayat bengkak
|
23
|
80
|
22
|
Pemeriksaan Fisik
|
|
|
|
· Takikardi
|
7
|
99
|
6
|
· Ronkhi
|
13
|
99
|
6
|
· Edema
|
10
|
93
|
3
|
· Ventricular gallop (S3)
|
31
|
95
|
61
|
· Distensi Vena Jugularis
|
10
|
97
|
2
|
Thorax Foto (Chest X-Ray)
|
|
|
|
· Cardiomegaly
|
62
|
67
|
32
|
Anamnesa
|
66
|
52
|
23
|
· Mudah sesak
|
21
|
81
|
2
|
· Orthopnea
|
33
|
76
|
26
|
· Nocturnal
dyspnea
|
23
|
80
|
22
|
Dikutip dari: Harlan WR dkk.13
Kriteria Framingham adalah
kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria
minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan
dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,
atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria mayor dan minor dari
Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
|
Kriteria
Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O
pada atrium kanan
Hepatojugular
reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu
5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantung
|
Kriteria
Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea
on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
|
Dikutip dari: Mann DL4
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan
dalam mengevaluasi pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membantu menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya
sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil
hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah
tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.4
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa
tampak tidak memiliki keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar
selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih
berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan
kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi
pada umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat
menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume,
dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi
sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan
ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari
juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.5
PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS
DAN LEHER
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan
pada atrium kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri.
Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan
kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung
dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan
memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa
normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan
tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan
regurgitasi katup trikuspid.4
PEMERIKSAAN PARU
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari
rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki
dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika
ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung.
Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini
karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga
alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya
tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner,
effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi
pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan
lebih sering daripada yang kiri.4
PEMERIKSAAN JANTUNG
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak
dapat memberikan informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika
terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke
V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri
yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat
angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi
beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga
dapat didengar dan teraba pada apex.1
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan
mengalami hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang
sistole pada parasternal kiri (right
ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume overload yang
mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi
hemodinamik yang berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal
jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur
regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung yang lanjut.4
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum
pada pasien dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar
seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat
regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi
karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam
drainase peritenium.4
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada
gagal jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal
jantung, hal ini walau demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat
pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal
jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang
terjadi, dan paling sering terjadi
sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih
beraktivitas. Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan
skrotum. Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan
pigmentasi yang bertambah.4
KAKEKSIA KARDIAK
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan
riwayat penurunan berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak
sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial,
termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea,
dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa
penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang
bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena
intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis gagal jantung akan semakin
memburuk.4
Seperti yang dapat dilihat pada tabel sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan klinis
baik pada anamnesa dan pemeriksaan fisik dalam mendiagnosa gagal jantung
relatif rendah. Karenanya pemeriksaan penunjang memiliki peranan penting dalam
mendiagnosa gagal jantung. Tujuan dilakukannya pemeriksaan penunjang antara
lain : (1) menentukan apakah terdapat kelainan jantung baik struktural atau
fungsional yang dapat menjelaskan gejala pasien, (2) mengidentifikasi kelainan
yang dapat diatasi oleh intervensi spesifik, dan (3) menentukan berat dan prognosis
gagal jantung.4
PEMERIKSAANLABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal
jantung antara lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K),
ureum & kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus
dilakukan pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1)
untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia
dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk
mengukur brain natriuretic peptide (beratnya
gangguan hemodinamik).4
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung
ringan-sedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika
dosis obat ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan
diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan
hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal
jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan
besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung.
Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif
dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk
hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan
menyebabkan meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme
jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga
telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%
penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk
diperiksa pada semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya
gangguan hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP
disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding jantung
dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang
pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP
dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada
pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan
kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding
lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.
Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan
kelas fungsionalnya.1
Gambar 4. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya
gagal jantung menurut kelas fungsionalnya. Dikutip dari: Maisel AS dkk.1
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi
disfungsi ventrikel dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama
pada glomerular filtration rate
(GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan
klasifikasi kelas fungsional.4
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal
jantung sebagai akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase
(AST/SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin
time (PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi
hiperbilirubinemia.4
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan
gagal jantung untuk mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri.
Konsentrasi dan volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.4
PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi, selain
menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat
dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran
jantung lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter
penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut
CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau
volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden.
4
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan
memiliki gambaran hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial,
sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru
pada CXR ditandai dengan adanya Kerley-lines,
yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang timbul
akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat
adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena
tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya
tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada
gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan
sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal
ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal
jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan
beratnya effusi pleura juga merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien
dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan
implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi
Klinis
Kelainan
|
Penyebab
|
Implikasi Klinis
|
Kardiomegali
|
Dilatasi ventrikel kiri,
ventrikel kanan, atria, efusi perikard
|
Ekhokardiografi, doppler
|
Hipertropi ventrikel
|
Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropi
|
Ekhokardiografi, doppler
|
Kongesti vena paru
|
Peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri
|
Gagal jantung kiri
|
Edema interstisial
|
Peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri
|
Gagal jantung kiri
|
Efusi pleura
|
Gagal jantung dengan
peningkatan pengisian tekanan jika ditemukan bilateral, infeksi paru,
keganasan
|
Pikirkan diagnosis non kardiak
|
Garis Kerley B
|
Peningkatan tekanan limfatik
|
Mitral stenosis atau gagal
jantung kronis
|
ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan
untuk setiap pasien yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik
elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya
terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal hampir selalu
menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung dengan
perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi
ventrikel kiri dengan strain, right
bundle branch block (RBBB), left
bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat
ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT)
dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat
sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara
takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai
sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi
pada resting ECG tapi dapat
terdeteksi pada monitoring holter 24- atau 48- jam.4
PEMERIKSAAN UJI LATIH BEBAN JANTUNG
Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki
keterbatasan dalam diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal
pada pasien yang tidak mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis
gagal jantung. Nilai pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas
fungsional dan stratifikasi prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan melalui
aktivitas yang secara progresif ditingkatkan hingga pasien tidak dapat
meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal, uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX)
dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan kemampuan aerobik pasien dan
berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan gagal jantung.1,
Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk menentukan ambang batas metabolisme
anaerob, yaitu titik dimana metabolisme pasien beralih dari aerob ke anaerob,
yang menghasilkan laktat berlebih. Secara praktis prinsip perhitungannya ULJB
dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi saat intensitas
latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya gejala
berat seperti sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang
penting. Puncak Vo2 <10 ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien
berisiko tinggi, >18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai
diantaranya adalah zona abu-abu dengan risiko sedang. Data prognostik untuk
puncak Vo2 pada wanita masih terbatas. Nilai Vo2 max
digunakan sebagai batasan untuk menentukan kapan pasien dengan gagal jantung
yang progresif harus dipertimbangkan untuk menjalani transplantasi jantung.
Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo2 max dapat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status pelatihan aerobik.
Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien dengan Vo2 max yang
rendah (<14 ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang cukup baik. Karena hal tersebut beberapa peneliti telah
mengusulkan angka prediksi persentase Vo2 dibandingkan nilai absolut
Vo2 max.1
Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki
kemampuan latihan yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak
pasien, latihan submaksimal atau symptom-driven
exercise test yang dikenal dengan 6-minutes
walking test menjadi popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini
diukur jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana
pasien dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat,
atau berhenti. Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan
faktor independen yang berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular. Karena kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada
uji klinis multisenter untuk menilai efektivitas suatu terapi.
ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode
diagnostik umum digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium
dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat
istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat,
dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi
global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung
echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang,
dan aman dengan banyak fitur seperti doppler
echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac motion analysis.4
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung
adalah penilaian Left-ventricular
ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga
dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung.
Tabel 4 mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal
jantung.
Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
|
||
TEMUAN UMUM
|
DISFUNGSI SISTOLIK
|
DISFUNGSI DIASTOLIK
|
·
Ukuran dan bentuk ventrikel
·
Ejeksi fraksi ventikel kiri (LVEF)
·
Gerakan regional dinding jantung,
synchronisitas kontraksi ventrikular
·
Remodelling LV (konsentrik vs
eksentrik)
·
Hipertrofi ventrikel kiri atau
kanan (Disfunfsi Diastolik : hipertensi, COPD, kelainan katup)
·
Morfolofi dan beratnya kelainan
katup
·
Mitral inflow dan aortic outflow;
gradien tekanan ventrikel kanan
·
Status cardiac output
(rendah/tinggi)
|
·
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
berkurang <45%
·
Ventrikel kiri membesar
·
Dinding ventrikel kiri tipis
·
Remodelling eksentrik ventrikel
kiri
·
Regurgitasi ringan-sedang katup
mitral*
·
Hipertensi pulmonal*
·
Pengisian mitral berkurang*
·
Tanda-tanda meningkatnya tekanan
pengisian ventrikel*
|
·
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
normal > 45-50%
·
Ukuran ventrikel kiri normal
·
Dinding ventrikel kiri tebal,
atrium kiri berdilatasi
·
Remodelling eksentrik ventrikel
kiri.
·
Tidak ada mitral regurgitasi, jika
ada minimal.
·
Hipertensi pulmonal*
·
Pola pengisian mitral abnormal.*
·
Terdapat tanda-tanda tekanan
pengisian meningkat.
|
Keterangan : * Temuan pada
echo-doppler.
|
Dikutip dari: Mann DL4
Maisel AS,
Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type natriuretic
peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002;
347:161-167
Mann DL.
Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc
graw hill; 2008. p. 1443.
Shah RV.
Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS,
editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project
of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
No comments:
Post a Comment